Header Ads

  • Breaking News

    Walikota Bandung , Birokrasi Publik Sering Dicap Berbelit


    PILARGLOBALNEWS,--Apa jadinya kalau seorang wali kota tiba-tiba berbicara soal cicilan rumah dan naik angkot di depan mahasiswa? Itulah yang terjadi dalam Expert Talk bertema “Building a Culture of Ethics and Good Governance in Organizations” di SBM ITB, Selasa, 23 September 2025.     

    Di hadapan ratusan mahasiswa di Auditorium Namengkawi SBM ITB, Muhammad Farhan tidak berbicara dengan bahasa birokrasi yang kaku. Ia justru membuka diskusi dengan kalimat sederhana, “Politisi jangan punya cicilan. Itu titik lemah yang paling gampang dimanfaatkan.”

    Farhan bercerita tentang perjalanannya meninggalkan dunia hiburan yang glamor untuk masuk ke dunia politik. Sebelum terjun sebagai wali kota, ia menjual barang-barang mewahnya, bahkan kendaraan pribadi.

    Alasannya sederhana, ia ingin tahu langsung bagaimana hidup seperti warganya.

    “Saya mulai naik angkot, supaya tahu berapa ongkos dari Stasiun Bandung ke ITB. Dari situ saya sadar, macetnya Bandung bukan cuma soal jalan sempit, tapi karena transportasi umum kita memang tidak memadai,” ujarnya.

    Cerita itu membuat ruangan bergemuruh. Para mahasiswa tidak hanya mendengar teori, tetapi melihat bagaimana seorang pemimpin menaruh dirinya di tengah realitas rakyat.

    Farhan kemudian menyentuh isu yang lebih serius, budaya gratifikasi. Ia menolak segala bentuk hadiah, bahkan sekadar kado ulang tahun.

    “Sejak hari pertama menjabat, saya bilang ke staf, jangan kirim kado, jangan kirim uang. Doa lewat WhatsApp sudah cukup. Kalau kita biarkan hal kecil, itu bisa jadi pintu masuk praktik yang lebih besar,” tegasnya.

    Menurut Farhan, integritas bukan sekadar jargon politik. Integritas adalah pilihan sehari-hari, menolak jalan pintas meski tidak populer.

    Sebagai wali kota, Farhan juga mengulas tantangan besar dalam membangun good governance. Ia menyebut birokrasi publik sering dicap berbelit, padahal di situlah mekanisme hukum dijaga.

    “Birokrasi memang membosankan, rigid, tapi harus dijalankan. Reformasi birokrasi bukan memotong seenaknya, tapi memastikan semua prosedur sesuai aturan. Kadang tidak populer, tapi itu harga yang harus dibayar demi tata kelola yang baik,” katanya.

    Isu layanan dasar pun tak luput dari sorotan. Pendidikan, kesehatan, air minum, hingga penanganan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) disebutnya sebagai prioritas Bandung yang membutuhkan tata kelola transparan.

    Menutup diskusi, Farhan menekankan bahwa good governance tidak bisa dibangun hanya dengan aturan hukum. Semua berawal dari komitmen moral seorang pemimpin.

    “Budaya etika dalam organisasi dimulai dari diri sendiri. Integritas itu bukan sekadar slogan, tapi keputusan sehari-hari untuk tidak tergoda mengambil jalan pintas,” pungkasnya.

    Dekan SBM ITB, Prof. Aurik Gustomo, dalam sambutannya menyebut kehadiran Farhan memberi warna tersendiri bagi mahasiswa.

    Menurutnya, pembahasan soal etika dan kepemimpinan sangat sejalan dengan fondasi SBM ITB, entrepreneurship, innovation, and leadership.

    “Kehadiran Kang Farhan hari ini sangat tepat. Mahasiswa bisa belajar langsung dari pengalaman praktis beliau sebagai kepala daerah,” kata Aurik.
    A
    Sejak berdiri pada 2003, SBM ITB memang dikenal sebagai sekolah bisnis dengan jumlah mahasiswa asing terbanyak di Bandung. Tidak heran bila forum ini juga menjadi ruang belajar lintas budaya, di mana etika dan tata kelola dibahas dalam konteks global maupun lokal.

    Acara ini meninggalkan kesan mendalam bagi peserta. Bagi mahasiswa SBM ITB, cerita seorang wali kota yang rela melepas gemerlap hidup glamor demi naik angkot tampaknya jauh lebih mengena daripada sekadar membaca teori good governance di buku teks.

    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    pilar

    Post Bottom Ad

    ad728